Assalamualaikum,
Setelah membahas seluk beluk persiapan toilet training di tulisan pertama, di tulisan ini aku akan lanjutkan dengan menceritakan bagaimana lika liku proses toilet training yang dijalani Nada, termasuk juga yang aku perasaan dalam mendampingi Nada belajar TT ini.
Seperti yang diceritakan di tulisan pertama, bahwa aku banyak membaca referensi tentang toilet training ini. Aku memilah milih mana yang cocok digunakan dalam mengajarkan TT pada Nada. Ada satu tulisan yang menarik buatku yaitu tulisannya mba Wina Risman di grup facebook parenting. Karena banyaknya yang bertanya tentang bagaimana proses TT ini, beliau menyampaikan metode TT yang digunakan kepada anak-anaknya. Yang membuatku tertarik adalah mbak Wina Risman bisa mengajarkan TT dalam 1 minggu saja dengan metode tersebut.
Setelah membaca metode dengan tips dan trik mbak Wina, aku pun menjadi optimis bisa mengajarkan TT dalam 1 minggu saja. Mungkin optimis ini malah jadi idealis seperti mengharuskan Nada lulus TT maksimal 1 minggu.
Baca juga : Pengalaman Toilet Training - Part 1 ,disana aku bercerita tentang usia memulai TT, persiapan TT dan trik TT yang dilakukan.
Idealisme Vs Realita
Aku mengikuti sesuai saran dan arahan dalam tulisan mbak Wina. 1 minggu full aku tidak mengajak Nada bepergian jauh, dan benar-benar lepas diapers pagi dan malam. Semakin hari aku semakin bertanya, 'ko Nada masih kebobolan aja?', terutama di pipis, kalau pup alhamdulillah hanya 2x kebobolan, setelahnya aman.
'Ah mungkin belum, masih ada 3 hari lagi menuju 1 minggu',
'Sudah hari ke 6, ko Nada masih kebobolan dan terkadang tidak bilang?'
Di hari ke 9 proses TT, memang kami berencana pergi ke Bandung karena ada acara. Aku seperti memburu-buru Nada untuk cepat lulus sebelum ke Bandung. 'Memang seharusnya 7 hari Nada sudah lulus TT', idealisme mulai menyeruak. Akhirnya apa? Aku menjadi kesal ketika Nada kebobolan pipis dicelana karena tidak bilang atau tidak bisa menahan. Semakin aku kesal, semakin Nada tidak happy menjalani proses TT, ini terlihat dari semakin sering kebobolannya, progresnya menurun 😣.
Padahal ketika difikir sekarang, dalam 5 hari pertama progres Nada cukup baik dan cepat. Sudah mau jongkok di kloset, mampu mengenal pipis dalam waktu 3 hari, kebobolan pup hanya 2x diawal saja, tidak susah dibangunkan malam hari untuk diajak ke kamar mandi. Hanya saja, idealisme dalam TT ini terlalu kaku sampai-sampai di pikiranku seperti 'haram' menggunakan diapers lagi.
Besoknya mau ke Bandung, galaunya luar biasa, sampai terlintas di pikiran untuk cancel aja ke Bandung. Diskusi alot sama suami yang menyarankan pakai diapers lagi aja, batinku langsung menolak mentah-mentah. Sampai saat itu aku begitu kesal pada Nada, 'Nada mau ikut ke Bandung gak? Kenapa masih pipis di celana?' Dengan polosnya Nada menjawab 'mau ikut ke Bandung'. Nada tidak menjawab alasan mengapa masih pipis di celana, ya karena ia belum mampu menjawab pertanyaan rumit yang diawali dengan kata kenapa, mengapa, dsb. Sungguh aku tau teori itu, tapi ketika itu teori hilang di kepala, yang ada hanyalah nafsu idealis bahwa Nada seharusnya bisa. 'Toh mbak Wina sukses dengan metode ini pada semua anaknya, ko aku dan Nada tidak bisa?'
Aku mulai menyerah, lalu mencoba menelepon mamah di Bandung, "Teh, namanya juga belajar, gak bisa instan apalagi TT. Besok selama perjalanan pakai diapers aja dulu, masa gak jadi ke Bandung, mamah sudah kangen sama Nada". Suara mamah di ujung telepon seketika membuat aku menjadi sedih, sadar bahwa aku terlalu memaksakan idealismeku yang sudah jelas berbeda dengan realita. Sedih karena ternyata aku sudah menekan Nada dan diriku sendiri.
Fleksibel namun Tetap Bertujuan
Kami jadi berangkat ke Bandung, Nada aku pakaikan diaper (lagi), di jalan kami berhenti di rest area dan aku tetap mengajak Nada ke kamar mandi lalu pipis dulu. Jadi diaper hanya untuk jaga-jaga, ketika kondisi macet, Nada kebelet dan belum mampu menahan. Sampai di Bandung, aku kembali menggantinya dengan CD. Semenjak itu, aku menurunkan ego dan idealismeku menjadi lebih fleksibel. 'Tidak apa-apa ko pakai diapers, di kondisi tertentu, untuk berjaga-jaga. Tapi tetap akan aku latih terus TT ini, tidak akan berhenti sampai 100% lolos', Batinku menguatkan.
Ya, aku hanya membuat proses nya menjadi lebih fleksibel bukan menggagalkan proses itu.
Artinya aku tidak menyerah lalu kembali memakaikan diaper terus menerus pada Nada. Yang harus dipahami memang setiap anak berbeda dan unik, seharusnya itu yang aku yakini dari awal memulai TT ini, tidak bisa Nada disamakan dengan anak lainnya walaupun mungkin proses atau teknik yang diberikan sama.
Semenjak itu aku tidak kaku seperti kanebo kering lagi ✌, tidak memaksakan full di rumah dalam proses TT ini. Jika memang kami perlu perjalanan jauh lagi, aku kembali memakaikan diaper pada Nada hanya selama diperjalanan. Aku tetap sounding Nada untuk berbicara jika mau pipis dan pup, menahannya sampai mobil berhenti dan bertemu kamar mandi. Walaupun Nada tidak meminta ke kamar mandi, namun biasanya aku minta rehat baik itu di pom bensin atau rest area untuk mengajak Nada ke kamar mandi dulu, seperti membangunkan Nada di malam hari untuk pipis, aku mengenalkan bahwa walau sedang dijalan atau dimanapun (bukan hanya dirumah) tetap harus bilang kalau mau pipis/pup. Mengenalkan bahwa di jalan atau dimana pun kita bisa mencari toilet.
"Nada kalau mau pipis/pup bilang ya, nanti mobilnya berhenti dulu cari kamar mandi, Nada tahan dulu sampai kamar mandi ya"
Mem-Pause Proses TT bukan Men-Stop
Saat itu proses TT Nada sekitar 4 hari terpotong mudik lebaran di kampung suami, Banjarsari. Semua keluarga berkumpul dan situasi kondisi ini tidak memungkinkan aku untuk melanjutkan TT dengan keriuh dan ramainya di kampung. Untuk ke kamar mandi saja kami harus mengantri, bergiliran, sampai seperti berlomba-lomba ke kamar mandi 😅. Karena itu aku memutuskan 'pause' dulu proses TT Nada 4 hari selama mudik, sehingga Nada menggunakan diapers pagi-malam (lagi).
Aku tidak menyebutnya men-stop karena setelah 4 hari mudik akan aku lanjutkan proses TT. Lalu banyak yang bilang bahwa kalau menggunakan diaper lagi itu mulai lagi dari nol proses TT nya. Alhamdulillahnya aku tidak terpengaruh dengan omongan itu sih, karena menurutku masa iya pengajaran yang sudah berlangsung 1 bulan akan habis tak bersisa hanya gara-gara 4 hari? Sehingga harus memulai lagi dari nol?.
Sayangnya omongan itu tidak masuk logikaku sih, aku berfikir mungkin hanya butuh adaptasi lagi saja, bukan benar-benar mulai dari nol. Ternyata benar! Setelah pulang mudik, selama 2 hari progres TT Nada menurun, namun tidak mulai dari Nol ko. Anak hanya perlu adaptasi (lagi), jadi aku kembali gencar sounding dan melatihnya tanpa lelah dan baper. Eh benar saja hanya 2 hari saja ko proses adaptasinya lagi, Nada sudah lancar kembali bilang mau pipis/pup.
Buat Prosesnya Nyaman dan Bahagia
Satu yang paling aku sadari bahwa proses TT adalah proses cukup panjang sehingga di awal salah jika aku memikirkan bisa instan. Proses panjang ini harus dibuat nyaman bagi anak dan ibu sehingga menghadirkan kebahagiaan ketika menjalani proses nya. Jadi sekarang ini tujuanku bukan terletak pada jangka waktu harus lulus TT namun pada berproses dengan bahagia. Aku meyakini jika prosesnya membuat nyaman dan bahagia akan cepat lulus juga TT nya. Setidaknya waktu demi waktu tidak akan terasa tertekan seperti dikejar deadline jika memang yang dituju adalah proses yang bahagia. Bukankah begitu?
Alhamdulillah, proses TT Nada sampai bisa dikatakan lulus berlangsung kurleb 3 bulan. Malam sudah bangun sendiri, perjalanan jauh pun sudah aman menggunakan cd. Sudah bisa membuka celana dan cebok sendiri namun baru untuk pipis, pup belum. Bertahap, satu persatu dikenalkan, alhamdulillah Allah lancarkan semua prosesnya 😊.
Comments
Post a Comment