Optimalkan Peran Orang Tua dalam Cegah Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan



"Polisi Periksa Kepala Sekolah dan Guru, Belasan Murid SD Jadi Korban Pelecehan"

Judul di halaman depan Kliping Berita Yogyakarta yang saya baca kembali menyadarkan saya akan bahaya kekerasan seksual pada anak. Belasan siswa yang rata-rata berusaia 11-12 tahun itu terdiri dari 9 murid perempuan dan 6 murid laki-laki mengalami pelecehan oleh guru honorer mata pelajaran konten kreator. Kekerasan seksual yang dilakukan dari mulai memegang alat vital siswa, memaksa siswa menonton video porno, mengajarkan siswa aplikasi open booking out (BO) sampai pada pencabulan.Yang menbuat tambah miris adalah pelaku melakukan aksi kekerasannya pada jam pelajaran dan disaksikan oleh siswa lainnya. (update berita pada 10 januari 2024)

Sebelumnya, beberapa berita viral tentang kekerasan seksual pada pelajar bahkan berada di lingkungan pesantren.

"Herry Irawan Pemilik PonPres di Bandung Perkosa dan Hamili belasan Santriwati"

"Subci atau Mas Becki Anak Kyai dan Pendiri PonPres di Jombang, Perkosa dan Cabuli Santriwati"

Membaca judulnya saja membuat hati meringis, sangat prihatin atas hal tersebut. Itu merupakan 3 dari sekian banyak berita tentang kekerasan seksual yang terjadi pada anak di lingkungan sekolah atau satuan pendidikan.

Menurut data yang dirilis Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) Kasus kekerasan tertingi sekitar 630 kasus berada di wilayah Jawa Timur yang disusul dengan Jawa barat sekitar 569 kasus. Sejak Januari sampai dengan Februari 2024 jumlah kasus kekerasan terhadap anak telah mencapai 1.993. Jumlah tersebut dapat terus meningkat, terutama jika dibandingkan dengan kasus kekerasan yang terjadi pada tahun 2023. Jenis kekerasan yang dialami paling tinggi adalah kekerasan seksual di 3026 kasus, dan rentan usia korban 13-17 tahun.

Data yang tersaji adalah data yang diinput pada tanggal 1 januari 2024 hingga saat ini (real time)

Sementara menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dari Januari sampai Agustus 2023, terdapat 2.355 kasus pelanggaran terhadap pelindungan anak. Dari jumlah tersebut, 861 kasus terjadi di lingkup satuan pendidikan. Dengan perincian, anak sebagai korban dari kasus kekerasan seksual sebanyak 487 kasus.

Data yang tersaji adalah data yang diinput pada tanggal 1 januari 2024 hingga saat ini (real time)

Banyaknya kasus kekerasan seksual pada anak di satuan pendidikan harus menjadi perhatian semua pihal baik itu pemerintah, peserta didik, pendidik, tenaga pendidik dan warga satuan pendidikan yang salah satunya adalah orang tua atau wali murid. Sebab, satuan pendidikan atau sekolah ini merupakan tempat kedua anak-anak dalam menghabiskan waktunya setelah rumah. Oleh karena itu, satuan pendidikan harusnya menjadi tempat aman dan nyaman bagi anak. Apapaun bentuk kekerasan dalam satuan pendidikan terutama kekerasan seksual harus dapat ditangani dan dicegah lebih dini karena dampak buruknya bukan hanya pada pendidikan anak-anak melainkan juga mental dan psikologis anak.

Mengapa Bisa Terjadi di Satuan Pendidikan?

Hal yang membuat shock adalah terjadi di satuan pendidikan yang ternyata juga dilakukan oleh oknum pengajar atau seseorang yang dihormati oleh anak-anak.

Hal ini menjadi pertanyaan besar juga ; "Mengapa bisa terjadi di satuan pendidikan? Bukankah satuan pendidikan adalah orang-orang terdidik yang harusnya tau moral dan adab yang harusnya diberikan pada anak?"

Jika kembali menelaah ternyata kekerasan seksual ini dapat terjadi karena 4 hal yaitu ;

1. Kesempatan 

Adanya pemantauan terhadap situasi dan kondisi disekitar secara berkala sehingga pelaku bisa memastikan untuk melakukan aksi tersebut dengan mempertimbangkan minimnya saksi dan barang bukti. Sangat mungkin, pelaku memilih melakukan kekerasan di sekolah atau satuan pendidikan karena sudah mengetahui celah di lingkungan tersebut, baik dari jam atau tempat yang kira-kira aman ketika berbuat aksi keji tersebut. Bisa juga karena kebanyakan orangpercaya pada sekolah atau satuan pendidikan menjadi tempat yang aman untuk anak-anak terhindar dari kejahatan, hal ini menjadi salah satu kesempatan pelaku untuk menjalankan aksinya di tempat yang diduga aman oleh kebanyakan orang tersebut.

2. Kesenjangan Sosial

Status sosial dan kesenjangan ekonomi kadangkala menjadikan korban menjadi pihak yang tertekan. Ditambah minimnya sumber daya dalam diri korban, membuat ia cenderung patuh dan terpaksa mengikuti hal tersebut. Meski-pun hal tersebut bertolak belakang dengan hati nuraninya. Kesenjangan sosial ini biasanya dipergunakan pelaku dalam melakukan kekerasan seksual. Hal ini dapat berupa memanfaatkan posisi yang lebih lemah, sehingga banyak sekali kasus kekerasan terjadi pada perempuan atau pun anak-anak.

3. Labilitas Emosi dan Regulasi Diri yang Belum Memadai

Pola asuh dari orang tua dan keluarga ini sangat mempengaruhi kondisi psikologis seseorang. Kemudian adanya kekosongan, adanya perasaan permusuhan, pengalaman traumatis berupa kekerasan, kecemasan, pengabaian, atau tekanan yang lain yang cukup kuat membuat seseorang menampilkan emosi yang belum matang.
Ya! ternyata kekerasan seksual bisa terjadi dimana saja, oleh siapa saja dan kepada siapa saja bahkan orang terdekat juga orang yang tidak disangka-sangka dapat melakukan hal keji tersebut. 
Pelaku kekerasan seksual bisa berada dimana saja bahkan di satuan pendidikan. Karena pasalnya pelaku atau oknum kekerasan sangat dipengaruhi kepribadian, pengasuhan dan kejadian traumatis di masa lalu. Beberapa kasus penyimpangan seksual dan pencabulan anak terjadi karena pelaku pernah menjadi korban pencabulan di masa kecil dulu. Ya! banyak sekali faktor yang dapat membentuk pelaku kekerasan seksual ini berani melakukan hal tersebut.

Dampak Pada Anak Korban Kekerasan Seksual

"Dampaknya, anak-anak yang mengalami korban kekerasan seksual guru honorer NB (22 tahun) mengalami trauma dan tidak mau masuk sekolah"

Seperti dijelaskan sebelumnya kekerasan seksual di lingkungan pendidikan bukan hanya merenggut pendidikan yang layak untuk anak-anak melainkan juga merusak mental anak. Chandra Melati, M.Psi, Psikolog selaku Psikolog di Bidang Pendidikan mengungkapkan beberapa dampak psikologis yang bisa terjadi kepada anak korban kekerasan seksual, diantaranya :

1. Self Esteem atau Keberhargaan Diri yang Rendah

Harga diri atau self esteem merupakan suatu evaluasi positif maupun negatif terhadap diri sendiri (Rosernberg 1965)
Ketika seseorang merasa tidak nyaman otomatis keberhargaan diri ini terganggu. Korban kekerasan seksual akan merasa ternodai, merasa kotor dan merasa dirinya rendah. Hal ini sangat mungkin terjadi karena pembentukan keberhargaan diri ini dari menilai kondisi dirinya sendiri mencakup kondisi fisik maupun sifat dan kemampuan. Anak korban kekerasan seksual otomatis akan mengalami perubahan dalam menilai kondisi dirinya sebelum dan sesudah mengalami kekerasan seksual. Penilaian diri yang negatif akan muncul pada seseorang ketika mengalami kegagalan, pengabaian dan kekerasan dari lingkungan sosialnya. 

2. Kecemasan

Ketika seseorang diperlakukan buruk di dalam lingkungan sosial otomatis akan menghadirkan rasa cemas dalam dirinya. Cemas ketika akan bertemu lingkungan atau situasi yang sama, sehingga dari beberapa kasus kejahatan seksual pada anak di satuan pendidikan, anak yang menjadi korban enggan untuk kembali ke sekolah karena mengalami rasa cemas saat memasuki lingkungan dimana pernah terjadi ancaman dan kekerasan disana.

3. Stres

Stres ini bisa jadi keberlanjutan dari self esteem yang rendah, kecemasan yang tidak terkendali, dan faktor lain yang dirasakan oleh korban kekerasan seksual. Stres ini muncul karena adanya penekanan terhadap situasi atau kondisi negatif yang dimaknai besar oleh seseorang dalam hal ini anak korban kekerasan seksual. Tentu bagi mereka, kekerasan seksual yang dialami merupakan kejadian yang sangat bermakna yang sangat mungkin tidak bisa terlupakan seumur hidup mereka. Pemaknaan yang dalam terhadap suatu kejadian negatif ini bisa membuat stres.

3 dampak ini yang umum terjadi namun ketika kita tela'ah dan mencoba breakdown lagi tidak menutup kemungkinan akan ada banyak dampak lainnya. Seperti gunung es di lautan luas, kekerasan seksual pada anak ini terlihat hanya di permukaannya saja, nyatanya memang jauh lebih banyak dan begitu besar dampaknya bagi anak-anak kita.

Pencegahan Sangat Perlu!

Lebih baik mencegah dari pada mengobati!

Seperti pepatah kedokteran diatas, dampak yang begitu dalam dan luas pada korban kekerasan seksual terlebih pada anak yang masa depannya terancam dengan adanya kekerasan di satuan pendidikan ini. Bayangkan saja, begitu banyak kemungkinan dampak yang terjadi, pengobatan atau pun penanggulangan nya pun tidak mungkin bisa instan. Butuh waktu, tenaga, materi dan banyak hal lainnya yang harus dikorbankan untuk penyembuhan dan perbaikan korban untuk bisa kembali ke 'sediakala'. 

Pencegahan dari Pemerintah

Pemerintah dengan satuan nya tentu berupaya untuk pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di satuan pendidikan ini. Pemerintah dalam hal ini melakukan pendekatan Hukum dan Kebijakan Mengenai Kekerasan Seksual, yakni:

  • Menyediakan tempat pelaporan dan penanganan terhadap tindak kekerasan seksual.
  • Menyediakan peraturan legal mengenai tindak kekerasan seksual dan hukuman bagi pelaku sebagai perlindungan terhadap korban kekerasan seksual.
  • Mengadakan perjanjian internasional untuk standar hukum terhadap tindak kekerasan seksual.
  • Mengadakan kampanye anti kekerasan seksual.
Betul! pencegahan kekerasan seksual terutama pada anak di satuan pendidikan juga tidak cukup hanya dari pemerintah, semua wajib bergerak dan membahu dalam mencegah oknum/pelaku berbuat kekerasan dan memberi ruang perlindungan pada anak-anak dan perempuan yang biasanya menjadi sasaran empuk dalam kekerasan seksual ini. Cara pencegahan di satuan pendidikan juga sudah dibuat sedemikian rupa oleh Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, bisa teman-teman baca lengkap di website nya ya!

Pencegahan dari Rumah

Keluarga sebagai lingkup terkecil dari lingkungan sosial menjadi kunci penting dari sebuah pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual. Pasalnya, seperti yang dijelaskan oleh Chandra Melati M.Psi, Psikolog di atas, bahwasanya pola asuh dan lingkungan masa kecil akan membentuk kepribadian seseorang.  Adanya kekosongan, adanya perasaan permusuhan, pengalaman traumatis berupa kekerasan, kecemasan, pengabaian, atau tekanan yang lain yang cukup kuat membuat seseorang menampilkan emosi yang belum matang yang dapat membuat seseorang menjadi pelaku kekerasan atau korban kekerasan seksual.

Peran Orang Tua Sangat Besar untuk Pencegahan

Maka sadari bahwa peran orang tua dan keluarga di rumah sangat besar. Keluarga juga salah satu support sistem terbaik bagi siapapun terlebih untuk anak-anak yang masih butuh pendampingan. Oleh karena nya, orang tua dan keluarga dirumah bisa bantu optimalkan peran orang tua dalam cegah kekerasan seksual di satuan pendidikan dengan beberapa hal ini :

1. Membangun Attachment yang Baik dengan Anak

Bonding dengan anak sedari dini sangat membantu dalam membangun attacment orang tua dengan anak. Pilihan pola asuh juga penting, Chandra Melati selaku Psikolog bidan Pendidikan juga mengungkapkan bahwa pola asuh yang demokratis sangat membantu dalam menjalin kedekatan, bagaimana orang tua dan anak leluasa mengungkapkan pendapat, perasaannya secara terbuka satu sama lain. Memberi kesempatan anggota keluarga untuk bebas berekspresi, membantu satu sama lain saling mengerti dan memahami antar orang tua dan anak. Pola asuh yang terlalu keras dapat membentuk anak menjadi anak yang penakut, penurut, patuh pada sesuatu hal yang mungkin saja tidak baik. Pola asuh terlalu keras juga dapat menyebabkan anak mencari tempat lain dalam berekspresi yang mungkin saya lingkungan tersebut ternyata negatif untuknya. 

Ketika orang tua membiasakan anak untuk berdiskusi, menganalisa, berpendapat, mengungkapkan perasaannya, bercerita di pola asuh yang demokratis tersebut maka ketika dihadapkan di lingkungan luar, anak akan cenderung berani mengambil keputusan, bersikap yang tepat sesuai hati nurani nya. 

Bantu juga dengan sering memeluk anak, mengungkapkan rasa sayang orang tua kepada anak, menghabiskan waktu bersama hal ini dapat meningkatkan self esteem pada anak.

2. Memahami Perkembangan Anak

Anak yang sedang orang tua hadapi itu usia berapa, tentu pendekatan kepada anak usia kecil dan anak remaja bisa berbeda bukan?. Pahami perkembangan anak sesuai usianya, untuk mengetahui dan memberi sesuai dengan kebutuhan perkembangannya saat itu. Dan juga, cara berkomunikasi, berdiskusi tentu akan berbeda ketika dengan anak kecil dan anak usia remaja. 

3. Memberi Seks Edukasi Sejak Dini

Satu hal yang penting adalah orang tua sangat perlu untuk terus belajar dalam mendampingi anak-anak sesuai dengan perkembangan jaman yang sedang dihadapkan pada anak-anak. Berbeda dengan jaman dulu yang rasa-rasanya pendidikan seks ini sangat tabu apalagi dibicarakan pada anak-anak. Namun, tantangan jaman semakin berkembang, orang tua harus mau merubah beberapa hal yang tabu tersebut menjadi lebih terbuka menerima masukan dan informasi yang memang dibutuhkan untuk perlindungan anak-anak.

Nyatanya, seks edukasi untuk anak tidak serta merta berbau sensual. Sesederhana mengajarkan tentang perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, memisahkan tempat tidur, memberi tahu adab berpakain untuk laki-laki dan perempuan, dll. Tentu hal tersebut bisa dilakukan sesuai perkembangan usia anak. Ketika anak usia dini, kenalkan rasa malu, anggota tubuh yang tidak boleh disentuh, dll. Ketika anak mulai memasuki usia pubertas, orang tua dapat membantu dalam berdiskusi mengenai masa haid dan mimpi basah sesuai medis dan agama. Obrolan ini akan jauh lebih ringan jika attachment orang tua dan anak sudah terbentuk sedari dini.

4. Pendidikan Aserif

Membentuk anak-anak yang asertif yaitu yang mampu mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang lain namun dengan tetap menjaga dan menghargai hak serta perasaan orang lain, tentu tidak mudah, tidak bisa juga secara instan. Itu tadi! pola asuh demoktatis yang diberikan dari rumah akan sangat membantu menciptakan anak-anak yang asertif, berani dan tidak takut untuk melawan kejahatan dan mengungkap kebenaran. 

Semoga saja, dengan kekuatan satuan terkecil dari keluarga ini kita dapat membentengi anak-anak untuk tidak menjadi korban bahkan pelaku! Maka dari itu, mari ayah dan ibu kita optimalkan peran dari rumah untuk cegah kekerasan seksual!


Sumber :

  • wawancara Chandra Melati., S.Psi, M.Psi, Psikolog Bidang Pendidikan
  • https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan
  • https://kliping.jogjakota.go.id/frontend/detail/73459
  • https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/ppks/pencegahan/

Comments

  1. Miris banget kalo baca berita kekerasan seksual di mana pelakunya malah guru atau tenaga pendidikan 😞.. Rasanya, kayak hopeless, orang yg kita percaya utk mendidik anak kita, kok ya malah serigala ternyata.

    Aku sampe batal mau sekolahin anak ke pesantren jujurnya.

    Setuju kalo di bilang ortu pun punya peran serta yg besar. Aku ngajarin juga anak2 utk berani speak up kalo ada hal2 negatif begitu yg mereka rasakan di sekolah mba. Ga usah takut melapor, itu aku temanin banget. Dan memang jika sudah ada bonding antara ortu dan anak, mereka pasti jd lebih terbuka.

    Ngajarin mereka ttg hal2 yg boleh dan tidak dilakukan yg berkaitan dengan seksual juga sudah mulai aku sounding. Tentunya dengan cara atau perbincangan yg sesuai usia mereka

    ReplyDelete
  2. Dampaknya yang bisa buat trauma seumur hidup, makanya pencegahan secara dini mulai dri rumah

    ReplyDelete

Post a Comment