Sebuah Perenungan di Senin Pagi



Assalamualaikum, 

Banyak sekali yang ingin aku ceritakan dan entah dari mana dulu akan memulai. Beberapa bulan kebelakang banyak sekali kejadian yang membuat aku mererungkan semua tentang hidup. Kadang nafsu menguasai diri sehingga tak jarang jadi mengeluh dan kufur nikmat. Namun tak lama aku selalu cepat tersadarkan dengan hal-hal yang baru-baru terjadi di tahun ini. 

Tiga bulan lalu, suami temanku yang sama-sama merantau ke Jakarta meninggal secara mendadak. Posisi kami sama percis, sedang merantau karena ikut suami, ngontrak di Jakarta dan memiliki anak yang seuisia, bahkan dulu suaminya ini pernah satu kantor dengan suamiku, kami pernah satu kawasan kost juga. Aku tidak bisa membayangkan perasaan temanku, karena aku sendiripun merasa shock dan begitu sedih, memikirkan banyak hal. Aku membayangkan bagaimana aku jadi temanku, menghayati itu sangat mudah karena posisi kami serupa. Temanku, kembali pulang ke orangtuanya salah satu daerah di Jawa Barat, dan harus mulai 'menata hidup' kembali. Setelah Ia punya segudang rencana dan tujuan bersama dengan sang suami. Ia berkata penyesalannya begitu banyak apalagi kesalahan pada suaminya yang tidak bisa ia ubah, harus ia ikhlaskan sebagai takdir Allah.

Hal ini menjadi bahan perenunganku paling besar di tengah-akhir tahun ini, bagaimana jika itu menimpa padaku? sudah siapkah?. lalu kembali melihat anak juga suami. Ya Allah nikmat berharga ini sering aku lalaikan, berapa kata atau perlakuanku yang 'kurang enak' pada suami dan anak-anak. Bagaimana jika esok,lusa atau entah kapan, waktu yang tidak pernah diduga-duga itu datang dan aku tidak berkesempatan untuk memperbaikinya?. 

Awal tahun dipenuhi keluh kesah karena covid, tidak bisa jalan-jalan, keuangan tidak stabil. Tengah bulan aku mengeluh karena keguguran, harus tindakan kuret, harus mengeluarkan dana darurat yang lumayan. Akhir bulan aku kembali mengeluh tidak ada bugdet untuk liburan akhir tahun. 

Astagfirullah... mengapa aku ini? jika dilihat yang lebih berhak mengeluh tentu temanku dan jelas suami temanku yang sudah tidak ada, karena tidak ada yang bisa kembali ia perbaiki. Ah... aku memang hanya manusia yang sangat wajar mengeluh. 
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (QS Al-‘Ankabut: 64).
Kegalauanku sebatas dunia, yaaaa cetek sekali kan, hanya sebatas dunia yang hanya senda gulau semata. Ya Allah.... astagfirullah... 

Selama kita masih diberikan umur, selama itu pula kita masih diberikan banyak sekali rezeki. Ketika kita tutup usia, disitulah rezeki kita dihentikan. Masih diberi kesempatan hidup adalah rezeki luar biasa, kita masih dikasih kesempatan memperbaiki diri, berakhifitas, mencari keridhoan Allah. Belum lagi dikasih rezeki berupa kesehatan, kasih sayang, rasa aman, sandang pangan papan, dan masih banyak lagi.
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nahl: 18).
Dengan kejadian ini aku banyak belajar, terutama jika aku kembali mengeluh hanya soal dunia kembali mengingat bahwa banyak posisi yang lebih berhak mengeluh dibanding diri. Mengeluh boleh tapi tidak untuk kufur nikmat namun untuk ikhtiar lebih maksimal mencari Ridho Allah. 
Di penghujung tahun ini, aku kembali banyak mengevaluasi diri, tahun ini tidak mudah dilewati bahkan mungkin untuk semua orang. Namun, tetap optimis dan bersyukur itu sangat penting. Jika sedang down, ingat saja...kita masih hidup artinya kita masih diberi banyak sekali rezeki oleh Allah.

Comments