Muhasabah Akhir Tahun

 


Assalamualaikum,

Awal tahun banyak hal yang membuat aku merenungkan diri dengan hidup yang dijalani saat ini. Diawali dengan beberapa berita duka mengawali tahun baru ini. Innalilahi wa innailahi rojiun, kalimat duka tersebut sering terdengar dari speaker mesjid, tak jarang juga menemukan kalimat tersebut di grup whatsapp, ada dari ayah/ibu kerabat dari anggota grup yang berpulang. Beberapa saudara dan kerabat yang aku kenal-pun tak luput dari kabar duka di awal tahun ini. Ada yang sudah berusia senja, ada juga yang masih muda tak jauh dari usia-ku saat ini. Sebab berpulang-nya pun berbeda-beda, ada yang memang sudah sakit dalam jangka waktu lama, ada juga mendadak tiada sebab, "ya memang sudah waktunya saja".

Ditambah dengan musibah banjir yang menimpa saudara-saudara kita di Jabodetabek, harta benda terasa tidak berharga ketika itu. Beberapa hal tersebut yang membuat aku merenung sedikit lebih lama dengan perasaan tidak tenang, perasaan tersebut muncul karena perasaan khawatir hal tersebut sangat bisa terjadi pada diriku sendiri. Bersyukurnya perasaan ini muncul hingga membuat aku terus merenung dari malam ke malam, terus bertanya mengapa perasaan tidak tenang ini terus muncul?. Teringat lirik lagu Edcoustic berjudul 'Sendiri Menyepi' yang pas sekali dengan kondisi saat itu.

Sendiri Menyepi.
Tenggelam dalam renungan
Ada apa aku seakan kujauh dari ketenangan

Perlahan kucari, mengapa diriku hampa...
mungkin ada salah, mungkin ku tersesat,
mungkin dan mungkin lagi...

Oh Tuhan aku merasa
sendiri menyepi
ingin ku menangis, menyesali diri, mengapa terjadi

Sampai kapan ku begini
resah tak bertepi
kembalikan aku pada cahayaMu yang sempat menyala

benderang di hidupku.

Seringnya aku sedih dan bahagia hanya karena pernik duniawi, baik itu harta, pencapaian, ketenaran, dan lain sebagainya. Sedih, merasa jadi orang yang paling sengsara ketika uang habis, namun tidak pernah 1 hari-pun Allah membiarkan aku kelaparan, sayangnya jarang sekali melihat sudut pandang tersebut. Aku hanya larut dalam kesedihan dan kegalauan uang habis, sampai tak jarang melampiaskan kekecewaan pada orang-orang terdekat. Begitu-pun dengan perasaan bahagia, merasa menjadi orang yang sangat beruntung ketika mendapat uang tidak teduga-duga yang masuk dalam rekening,  sampai mau mengeluarkan untuk keperluanpun rasanya sayang, sampai bingung dan stress mau dipakai apa saja.

Apakah selama ini sedih dan bahagiaku hanya diukur sebatas harta? pencapaian? ketenaran? hanya untuk pernik-pernik dunia yang sungguh nyatanya tidak penting.

Dunia yang aku elu-elukan ini akan lenyap dengan sekejap mata ketika Allah sudah berkenhendak. Harta yang dibanggakan disapu habis dengan banjir, longsor, bencana lainnya. Jiwa dengan senang dan sedih karena dunia juga akan berpulang , entah kapan, siapa tau besok atau mungkin lima menit kemudian?.

Aku kembali menarik nafas panjang di malam-malam aku merenung dan merasakan sulit tidur karena kehawatiran ini. Khawatir selama ini benarkah aku termasuk hamba yang diperbudak dunia?. Aku takut jika harus mempertanggungjawabkan semua yang Allah beri dalam waktu dekat ini. Artinya apa? aku merasa belum siap membawa bekal amal karena selama ini fokusku banyaknya hanya seputaran dunia lagi, dunia terus.

Seketika aku merasa jadi hamba yang sangat beruntung dengan mentafakuri semua nikmat sehat, iman, islam, kebebasan, punya keluarga yang sangat baik, shaleh/shalehah, saling mencintai dan mengasihi. Diberi kecukupan yang membuat tenang dan bahagia, lalu mengapa aku selalu mencari yang tidak ada? selalu mencari yang bahkan mungkin membuat aku terlena bahkan tidak bahagia sebenarnya.

Syukur dan Sabar Itu Pilihan

Ada teman yang aku kenal harus menjalani pengobatan kemo karena terkena kangker stadium 3, dia seusiaku dan sudah memiliki anak seusia Nada juga, namun dia hanya bisa berbaring dan duduk di kursi roda, berjuang demi kesembuhannya. Namun ketika melihatnya, aku tak mampu membendung air mata, dia begitu ceria dan optimis, tidak pernah mengeluhkan sakitnya bahkan tidak pernah menangis didepan orang lain. Jika belum mengenalkan dengan baik, melihat media sosial nya pasti tidak menyangka bahwa ia memiliki sakit parah. Lalu aku berkaca, bagaimana dengan diriku hai Hikmah? hatiku menunduk, semakin malu.

Beberapa juga teman dan saudara yang memiliki anak berkebutuhan khusus, terlihat begitu bangga dan bahagia menemani anak-anak spesial tersebut yang jelas tidak mudah. Sedangkan banyak dari kita bahkan aku sendiri terkadang mengeluhkan kondisi anak yang tidak sesuai seperti orang tua harapkan. Ada juga beberapa teman curhat mengenai komunikasi dengan suaminya yang sangat tidak lancar, karena komunikasi kurang produktif tersebut, dia merasa kurang disuppoet menjadi seorang ibu, ujung-ujungnya merasa tertekan.

Aku berkaca pada diriku, Ya Allah betapa beruntungnya aku diamanahi Nada, didampingi Bilal yang sangat support, komunikasi kami sangat baik. Tapi sayangnya diri masih ditutupi nafsu untuk dapat bersyukur dan bersabar.

Hidup adalah pilihan, jadikan hanya ada dua pilihan dalam menjalaninya, syukur dan sabar.

Comments